Kamis, 19 November 2009

kisahku dan si gadis kecil

Pagi yang dingin tapi indah dengan sapaan lembut matahari dan tetes embun di dedaunan.
Dari balik jendela kulihat seorang gadis kecil duduk di ayunan taman.
Aku berjalan menghampirinya, duduk di sampingnya.
Gadis kecil itu berpaling menatapku, sebuah senyum hangat merekah di bibir mungilnya, kemudian dia kembali menatap langit.

“Pagi yang indah ya, kak?” tanyanya tanpa sekalipun menoleh padaku.
“Ya, pagi yang sangat indah.” Jawabku sambil ikut memandang ke langit.
“Tak ada yang sangka malam tadi hujan turun.”
“Iya.”
“Hidup itu sama dengan cuaca, berubah ubah... dari gelap jadi terang, dari hujan jadi cerah, dari sedih jadi bahagia, dan dari memiliki jadi kehilangan...”

Aku menoleh ke arah gadis kecil itu. Rasanya ada sesuatu yang menikamku.

“Memiliki dan kehilangan, pasangan yang sempurna. Saling melengkapi. Karena kalau hanya ada salah satunya, konsep itu jadi tidak bermakna, hampa...”
“Benar juga. Kita tidak akan kehilangan apa yang tidak kita miliki.” Kataku menyetujui.
“Uhhuh.” Katanya diiringi sebuah anggukan. “Karena tidak ada yang abadi. Tapi bukankah itu lebih baik?” tanyanya sambil menatapku. Pandangan matanya tajam, seolah bisa membaca pikiranku. Aku terdiam. “Kalau tidak pernah kehilangan, kita tidak akan merasakan bagaimana rasanya memiliki sesuatu.” Lanjutnya.
“Kita tidak akan pernah merindukan air kalau tidak pernah kehausan.” Timpalku.
“Sama seperti hujan. Hujan memang mengesalkan, tapi tanpa hujan bumi jadi tandus.”
“Kalau langit selalu cerah, akan ada kekeringan di mana-mana.” Tambahku.
“Ibaratkanlah hujan adalah derita, matahari adalah kebahagian, dan bumi adalah manusia...”
“Tidak akan ada kebahagiaan kalau tidak pernah menderita.” Jawabku
“Benar, semuanya harus dirasakan untuk menghadirkan keseimbangan.” Katanya menyetujui. “Maka terimalah derita itu dengan kesabaran. Terima juga kehilangan itu dengan keikhlasan...” lanjutnya riang diiringi sebuah senyum hangat untukku seakan tahu apa yang terjadi padaku, apa yang menimpaku, yang mengubah hidupku.

Aku hanya bisa menatapnya takjub. Terkesima dengan pernyataannya. Gadis kecil ini begitu bijak diusianya yang semuda itu... ah, malunya aku berhadapan dengannya.

Tiba-tiba tangan mungilnya meraih tanganku, menggenggamnya.

“Ada lah buat mereka yang sudah tiada...” katanya kemudian kembali memandang langit.

Perasaan hangat mengaliriku... aku juga kembali ikut menatap langit.

“Hari yang cerah, ya!” kataku...

2 komentar:

piPpo' mengatakan...

"kakak.. kakak... byar tgihan telpon kmrin belom.. hha"..

takkan ada tangis jika tak diakhiri dngn senyum.. hhe~..

_pippo iseng spnjang masa_

Miss Dwianri mengatakan...

jiahahaha...
sudah kok, dek... ;p

yup.
bukannya bahagia ada karena ada kesedihan???

*pertanyaan yg sama lagi*
nda kreatifku~! ;p