Kamis, 25 Maret 2010

Sepucuk Surat dari Seseorang

“Lost generation…” itulah julukan untukku.
Julukan dari para pemimpin tirani dari sebuah rezim yang gelap.

“Pengubah…” itu pula julukan untukku.
Julukan dari para rakyat jelata yang bermukin di sana.

Aku, orang yang tanpa pilihan bermukim di sebuah negara tirani rezim yang gelap.
Demi cita-cita aku berjalan saja mengikuti arus.
Hidupku terasa biasa saja,
Hingga suatu hari para pemimpin itu datang menggedor pintu rumahku dan saudara-saudaraku.
Mereka berteriak dan bertingkah sesuka hati mereka, merampas hak asasi kami, kebebasan kami.
Bahkan kehidupan kami!


Suatu hari aku pernah menulis catatan tentang ketiranian mereka.


Mereka mengubah kami dari seorang remaja menjadi seorang romusa.
Mereka mencambuki kami dari belakang setiap waktu.
Memaksa tangan, kaki, dan pikiran kami bekerja hingga mati rasa.
Dan buat yang tidak mampu bertahan, hati mereka pun ikut mati.

Pada malam-malam pertama sejak kedatangan mereka,
Aku tidak pernah bisa tidur, begitu pula ibuku.
Aku ingin menangis… mereka boleh saja menjadikan aku romusa, bahkan membunuhku,
Tapi aku tidak bisa membiarkan mereka menjadikan ibuku romusa juga!
Ayah, maafkan aku yang membuatnya kesusahan, maafkan aku tidak menepati janji untuk menggantikan posisimu menjagakan mereka…

Hatiku perih. SUNGGUH!
Aku tidak bisa menerima perlakuan itu… dengan alasan apapun, hal itu tidak pernah sejalan dengan pikiranku.
Mereka selalu bilang, hal ini ada tujuannya baiknya juga.
Tujuan baik apa? Apakah tujuan baik itu tidak dapat dicapai dengan cara yang lebih baik pula?
Haruskah berlaku seperti pelatih sirkus pada hewan-hewannya?
Tidak bisakah sebagai seorang guru pada muridnya?
Tidak bisakah?!

Ada yang bilang badai pasti berlalu,
Setelah hari puncak, saat sebuah tujuan sudah diraih,
Kami kembali dapat menghirup udara segar, dapat kembali menikmati enaknya memejamkan mata dan meluruskan tubuh.
Rasa sakit itu perlahan tertutupi… tapi ternyata tidak… di hati tetap terbuka lebar.
Kutukan bagi rezim itu tidak pernah berhenti tergaung di kepalaku.

Dan lebih disayangkan lagi, tidak ada yang bilang badai yang berlalu tidak akan pernah datang lagi.
Dan itulah yang terjadi di desaku sekali lagi…

Tapi cara mereka berbeda, para pemimpin itu berbeda.
Mereka berubah menjadi sahabat. PENYUSUP!
Mencoba membuat kami percaya, mencoba membuat kami terhanyut
Mencoba memecah belah kami. LICIK!

Sayang, semuanya sudah terlambat untuk dipahami sekarang…

Aku dan saudara-saudaraku TERLAMBAT menyadarinya…

Kini kami sudah terpisah, JAUH…

Ketentraman rumah kami terusik.
Perkelahian, teriakan, hinaan, kelicikan, intrik! SELAMAT DATANG PENGHUNI BARU YANG BERSEMBUNYI DI TUBUH SAUDARAKU!

Tidak ada cara lain, kami hanya terus saling melukai demi menyelamatkan hidup kami masing-masing.
Survive pada pilihan kami masing-masing…

Sungguh, sebenarnya aku tidak ingin memulai perang apapun.
Tidak sadarkah mereka, Aku tidak ingin melukai siapapun, terlebih kalian!

Aku merindukan kalian… aku merindukan kenyamanan rumah kita…
Aku merindukan tawa kalian… aku merindukan saat-saat kita bersama…

Tapi percuma!
Doa panjangku pun kini tidak dapat kalian dengar…
Air mataku pun sudah tidak dapat kalian lihat…
Sepertinya jarak jalan pilihan kita memang sudah sangat jauh, ya?

Tapi… aku tidak akan berhenti mengulurkan tangan pada kalian jikalau sewaktu-waktu kalian datang dan membutuhkan tangan hangat seorang saudara.
Aku akan selalu menyediakannya.

Aku hanya ingin kalian mengerti…
Jalan yang berbeda bukan berarti kita harus saling melukai. Jalan yang berbeda berarti kita harus jadi lebih pengertian.
Jarak yang jauh bukan berarti kita harus saling mendiami. Jarak yang jauh artinya kita harus berteriak, menyuarakan hingga dapat menjangka yang lainnya.

SAUDARAKU – orang yang mungkin kuanggap saudara tapi tidak menganggapku saudara, tak masalah – aku hanya minta pengertian kalian…

Buat para PEMIMPIN TIRANI REZIM, inikah kebaikan yang kalian maksud? Inikah tujuan yang ingin kalian capai? Jika iya, SELAMAT ATAS KEBERHASILAN ANDA!

Buat TUHANKU, maafkan aku yang belum bisa menghilangkan rasa sakit dihatiku. Maafkan aku yang belum bisa mengubur dendamku yang makin lama makin membara. Maafkan aku yang tidak bisa berhenti mengutuki… MEREKA! MAAF…

Dan buat DIRIKU SENDIRI, jangan pernah berhenti bergerilya… PERUBAHAN akan kamu raih! Percayalah…

Dariku,
Korban dari sebuah rezim tirani.

Tidak ada komentar: