Senin, 29 Agustus 2016

Karena Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana



Dengan seluruh kekagumanku padamu, surat ini aku kirimkan.

Kamu cukup tersenyum dan semudah itu aku jadi gila karena jatuh terkagum-kagum. Kamu tak perlu menjadi pria kekar yang ada di film-film action. Kamu tidak perlu menjadi pria manis yang ada di drama-drama televisi. Kamu hanya perlu menjadi kamu, sesederhana itu sudah memikatku dengan ketulusan hati. Kamu memang tidak memiliki banyak seperti yang dunia unggulkan, tapi justru itu yang membuat kepadamu aku menetapkan pilihan. Kamu berbeda dan menerimaku apa adanya.

Bersamamu, aku tidak perlu menjadi orang lain. Kamu tak perlu menjadi pahlawan-pahlawan yang diidolakan oleh seisi dunia, karena kamu memiliki kekuatan khusus di mataku yang bahkan mengalahkan Iron Man, dan kau harus tahu bahwa aku adalah #teamironman garis hardcore. Kamu memiliki kekuatan untuk membuatku tersenyum disaat tak ada satupun yang mampu mengusir sedihku. Terlalu magis. Terlalu sederhana. Namun aku suka.

Sesederhana kamu hadir, segala kuatirku pun terusir. Dari caramu melihat dunia, dari caramu menatap realita, dari caramu menyebarkan cinta, dari caramu menggantungkan mimpi, dari cara kerja pikirmu dan dari caramu mencintaiku. Aku sungguh jatuh cinta. Kamu tak pernah berjanji, tapi selalu menyuguhkan segala yang melebihi ekspektasi. Kamu sudah lebih dari cukup. Terima kasihku takkan pernah habis-habis, karena Tuhan telah menghadirkanmu.

Terima kasih, R. Terima kasih, priaku. Terima kasih.

Ngawi. February 7th, 2016.

Sebuah Pengingat Untuk Suatu Hari Yang Tak Diprediksi, Kala Kita Bertengkar.



Untuk kamu di suatu hari yang tak terprediksi,

Cinta adalah teka-teki. Dan perjalanan hati, tidak ada yang pernah bisa memprediksi. Tidak ada yang ahli, karena cinta bisa membuat siapapun jatuh berulang kali. Esok hari, masih terlalu rahasia untuk dicicipi. Janji seolah ikatan yang tak abadi, karena siapapun bisa lupa, bisa lalai tak menjaga, pun tak mampu lagi untuk menepati. Janji seolah ketakutan bagi mereka yang tak berani mempertahankan sampai akhir. Hanya ada hati yang perlu dilatih lebih kuat, lebih berhati-hati, lebih menjaga yang dicintainya.

Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Bahkan hatiku lebih dulu memilihmu, sebelum kamu mengutarakan rasa. Mungkin sebelum perjumpaan kita, Tuhan sudah merencanakan agar kita saling mencinta. Itu adalah salah satu rahasiaNya, yang tak pernah bisa diukur dengan logika. Mungkin aku tak sering mengucapkan kalimat ini. Tapi kali ini ingin kubisikan lewat seracik aksara dalam surat yang entah kapan akan kau baca. Aku mencintaimu dan semoga akan selalu begitu. Karena sungguh aku tak bisa mengintip hari esok. Ada batas yang terlalu jauh, yang tak bisa kita tempuh.

Ketahuilah hal itu. Karena jika suatu hari lahir sebuah pertengkaran diantara kita, aku tak ingin ada rasa yang tersapu. Karena jika suatu hari kamu memalingkan wajahmu dariku, tolong jangan sangkal hatimu. Utarakan saja, keluarkan saja sesak yang menyangga hatimu, tapi jangan pergi. Jika suatu hari ada kekecewaan yang tiba-tiba mendatangi, janganlah malu untuk mengirimkan maaf terlebih dahulu. Dan jika suatu hari ada salah satu dari kita yang tak mampu mencegah luka, janganlah memilih untuk berpisah jalan. Ingatlah perjumpaan kita, perjalanan cinta dan rasa yang masih ada.

Kamu butuh menyendiri, tapi tidak dengan melepasku pergi. Kamu butuh menyembuhkan hati, tapi ijinkanlah aku yang mengobati. Jangan ijinkan gengsi untuk menghuni hati, karena aku takut ia yang akan mengusirku dari kediamanmu.

Aku mencintaimu, jangan terlalu lama membisu. Cepat peluk aku.

City of Heroes, Surabaya. August 15th, 2016.

Your Lie in August



Bohong jika aku sudah lega melepaskanmu. Bohong jika aku bahagia dengan ketiadaanmu. Bohong jika aku tak rindu. Bohong jika aku menyerah akan kita. Bohong jika aku tak pernah menunggu. Bohong jika aku tak mencari tahu tentang kabarmu. Bohong kalau aku mengusirmu, jika suatu hari kamu kembali untuk memulai segalanya lagi. Bohong jika stok persediaan cintaku menipis. Segalanya masih sama, masih untukmu.

Belum ada pria lain yang bisa memperbaiki, menyembuhkan atau mungkin membuatku jatuh cinta lagi. Puaskah kamu memenangkan seluruh pusat perhatianku? Kamu itu nadi, tombol penggerak dan penghenti segala kerja hati. Aku tak peduli lagi dengan gengsi, aku tak ingin lagi berpura-pura setuju dengan perpisahan ini, aku tak bisa lagi berperan seolah-olah jadi yang paling kuat. Aku tak ingin kamu hanya berdiri dan menyesali. Aku ingin kamu menghampiriku dan berbisik, “Aku telah pulang”.

Tanpamu, ada hal-hal sederhana yang kini baru kusadari terasa begitu istimewa. Aku sudah terbiasa dengan serangkaian hari kita yang penuh dengan peristiwa-peristiwa manis. Dari bertukar selamat pagi dan selamat malam sebagai pengawal dan batas usainya hari. Berlomba menjadi yang lebih rindu untuk mengajak bertemu. Atau caramu membuatku ingin selalu bermanja di bahumu dengan mengacak-acak rambutku dengan lembut. Sungguh, aku sudah terlalu terbiasa. Dan tanpamu, yang kurasa hanya hampa. Tanpamu, mereka menyoroti pandangan-pandangan aneh bahwa kita tak pernah berhasil mengikat cinta.

Benarkah? Apa tak bisa kita bantah apa yang mereka katakan? Kita memang tak berhasil, tapi bukankah kita masih saling mencintai? Aku hanya tak ingin jauh, tak ingin membiarkan orang lain mengisi hatimu, membiarkan perempuan lain mengganti posisiku di ruang pikirmu. Karena yang kuinginkan hanya aku yang dijadikan tempat pertama olehmu. Ingatlah rasa-rasa pertama kali saat kamu mulai menjatuhkan hati. Indah bukan? Mari jatuh cinta lagi, tanpa perlu harus saling menyakiti. Aku akan jadi perempuanmu, berjuang lagi dan sebisaku takkan melepaskan yang terbaik yang kupunya.

Because without you, everything will be different.

Surabaya, 14 Agustus 2016. Cheers for the worst day ever and happy 9thmontversary btw.


Resignation Letter.


Untuk seseorang yang pernah begitu kupahami,
Karena pernah begitu kucintai.

Maaf kalau harus menyebutkan kata-kata ‘pernah’. Karena memang pernah dan kini tak lagi. Ada sebuah batas transparan dari dirimu yang kini tak pernah bisa kusentuh. Arena khusus yang tak lagi menyertakan aku dalam arenanya. Pikiranmu yang tak bisa lagi kuterka akan kemana tujuannya. Ada banyak hal sederhana yang kini berformula jadi rumit. Dan seolah-olah perubahan-perubahan ini membuat kita saling menyalahkan diri sendiri. Bukan salahmu, jika ada yang harus selesai di antara kita. Bukan salahku, jika tak bisa lagi meneruskan setiap rasa pertama kali yang pernah kita bagi. Ini hanya cara kita belajar bahwa memang perlu ada yang berubah. Dan biarkan waktu yang mengajari kita untuk menerimanya, ya?

Aku undur diri, atas segala rasa yang nantinya bisa memperburuk kondisi hati. Aku undur diri untuk menitipkan lagi segala rasa yang pernah dimintamu dulu. Aku undur diri untuk segala masa depan yang dulu pernah kita impi-impikan. Langkahku pelan-pelan menjauh, mungkin kenangan akan begitu riuh, tapi takkan membuat beberapa luka semakin melepuh. Maaf jika aku tak mampu lagi bertahan, dan maaf jika aku secepat ini melepaskan. Namun hal-hal pahit, harus kau cicipi lebih dulu agar kau tahu apa rasanya manis. Sesendok pelajaran sedang kita lahap bersama-sama, tentang kenyataan bahwa tak seharusnya lagi kita bersama. Lepaslah dengan rela. Karena suatu hari, kita akan sama-sama tersenyum mengingat hari ini.

Memasuki pekarangan hatimu adalah cara terbaik mengenal cinta. Dan mengundurkan diri adalah satu-satunya hal yang paling tepat untuk menjauh dari pergerakan luka. Kita akan baik-baik saja. Selamat menemukan yang lain selain aku.

Wasalam.

Dari yang langkahnya sudah menjauhi kediamanmu.

Makassar, 6 Oktober 2012.

So, Good, Bye. For Now.

Finally, I remember my bloggor account! I'm so excited because I already had a bunch of draft that I really want to share. I'm happy that I can writing a blog again, before I forget my old true self because the stressful work.

So, let me start to post a thing, please enjoy it!



Ada sebuah janji yang tak pernah lagi bisa ditepati, karena kita memilih pergi. Satu yang memecahkan diri, berpisah haluan, mengucapkan selamat tinggal karena sudah menemukan kebahagiaan yang lain. Dan satunya lagi yang tersakiti, terlalu mencintai, tak terima dengan realita yang menyuguhkan luka lalu memilih untuk mengasingkan diri.

Aku tahu bahwa perpisahan selalu menyakitkan. Tapi tidak ada yang bisa mencegah kedatangannya, tidak ada yang tahu kapan ia tiba dan tidak ada yang menginginkannya. Jika saja bisa, aku mau tetap tinggal. Jika saja bisa, aku tidak ingin menyakiti siapa-siapa, pun tak ingin siapa-siapa tersakiti. Jika saja bisa, aku ingin terus bersama. Jika saja bisa, aku tidak mau ada sebuah perpisahan. Karena perpisahan itu menjauhkan. Semanis apapun, sebaik apapun bentuknya, perpisahan hanya akan mengasingkan kita. Lalu untuk apa bertemu, jika akhirnya berpisah?

Aku masih mencintaimu. Masih sampai detik dimana kamu mengecup keningku, masih sampai detik dimana kamu sibuk dengan duniamu, masih sampai detik dimana kamu berhenti memusatkan hatimu untukku, masih sampai detik dimana kamu menciptakan segitiga baru antara aku, dia dan kamu, masih sampai detik dimana kamu menghilangkan ritual-ritual manis kita, masih sampai detik dimana kakimu pelan-pelan mulai menjauh, masih sampai detik dimana kamu benar-benar berubah dan memilih pergi. Dan masih sampai detik ini, aku mencintaimu. Karena itulah hatiku begitu pedih dengan perpisahan yang tak pernah ingin kutuliskan skenarionya.

Waktu tidak pernah bisa diputar kembali. Jika kamu memilih pergi, maka pergilah dan jangan kembali. Untuk berdamai dengan kenyataan dan mengalah dengan penyangkalan, sungguh aku perlu waktu. Tapi setidaknya aku telah berani membiarkanmu pergi, merelakan agar hati tak dibuat berkeping lagi. Tentang hal yang hak patennya sudah tak bisa diubah, aku hanya bisa menerima bahwa kamu sudah tak lagi cinta. Mungkin dengan perpisahan ini, ada pertemuan lain yang sedang disiapkan. Tidak apa-apa, karena segalanya sudah dikendalikan oleh yang lebih Ahli.

“Its okay to walk out of someone’s life if you don’t feel like you belong in it anymore”

Berbahagialah. Ini bukan ritual kata yang kuucapkan sebagai salam perpisahan agar terlihat sempurna. Tapi sungguh, aku ingin kamu bahagia. Karena pernah aku melihatmu tersenyum manis, tertawa lepas, saat kita jatuh cinta dan seperti surga rasanya. Dan jika aku tak bisa lagi membuatmu seperti itu, berbahagialah dengan yang bukan aku. Jatuh cintalah lagi, karena hatimu butuh. Jika kamu telah menemukan orang yang tepat, aku berdoa agar tidak ada sebuah perpisahan. Karena sungguh, itu menyakitkan.

Aku pergi, aku akan segera menyembuhkan hati, aku akan menemukan bahagiaku sendiri.

Selamat pergi, Selamat tinggal (di hati yang lain).


Makassar. June 12th, 2012.

Sabtu, 01 November 2014

I will come back, someday. Home.


Makassar.
Kota Istimewa, the sunshine heaven on the earth.
Katanya.

Katanya manusia-manusia penghuninya.
Manusia-manusia yang pernah menyapanya.
Manusia-manusia yang sempat singgah sejenak.
Manusia-manusia yang memilihnya sebagai rumah selamanya.

Saya, pun, menjadikan Makassar rumah favorit saya.
Rumah yang saya tinggali selama lebih dari dua puluh tahun.
Pun, kota yang benar-benar saya benci karena ada beberapa peristiwa patah hati dan menyedihkan yang menjadikan saya setengah hidup.

Separuh nyawa saya tertinggal di kota itu, separuhnya tersisa di tubuh saya.

Separuh nyawa yang tersisa di tubuh saya memustuskan untuk menjadi pekerja.
Berhenti merasa.
Dan berkelit dari kehangatan bercengkrama dengan sesama manusia.

Mungkin saya sudah lelah, kata manusia jaman sekarang.
Saya akhirnya membuat rencana, memohon kepada Yang Kuasa agar membawa saya pergi.
Pergi meninggalkan Makassar untuk menata hati dan meregenerasi jiwa saya.
Entah itu dengan bersekolah atau mengembangkan karir profesional di sudut bumi lain.

Jikalau saya melangkah keluar, barangkali saya mampu menghidupkan separuh lagi nyawa saya.
Saya berusaha sekian keras untuk mewujudkan itu.
Nyatanya, saya merasa lebih sakit.
Penolakan demi penolakan, juga beberapa urusan terus membayang di belakang saya
karena penyelesaiannya terus saya tunda.
Saya pun semakin tak hidup.
Saya kehilangan kemampuan berbicara, kemampuan menyusun kata per kata menjadi kalimat penyampai rasa atau gagasan.

Perjuangan saya memasuki satu universitas ke universitas lain pun semakin sulit dan tak pula kunjung membawa hasil berarti.
Belum lagi dari kantor-kantor yang saya datangi.
Sembilan memang bukan angka besar untuk penolakan.
Dan waktu menganggur enam bulan masih tergolong belum lama.
Namun cukup besar dan lama untuk saya melihat kembali rencana saya.
Untuk mengukur kembali kemampuan saya, sudah siapkah untuk memulai kehidupan 180 derajat berbeda?

Saya sedih.
Saya bingung.
Saya pun semakin lelah.
Akhirnya saya menghabiskan waktu di kamar, beristirahat atau lebih tepatnya bermalas-malasan.

Hingga seorang teman mengobrol datang dengan berbagai kalimat wise-nya.
Dan sampai detik ini saya sangat bersyukur mempunyai teman seperti dia.
Teman yang mampu membuat saya kembali menjadi manusia, walaupun belum total utuh.
Setidaknya dia menyadarkan saya kalau masih ada satu kesempatan jika saya mau bersungguh-sungguh.

Saya tidak boleh menyerah.
Saya tidak boleh patah semangat.
Saya hanya butuh rehat lalu kembali berlatih, memantapkan kemampuan
sebelum kembali lagi meneruskan perjuangan.

Tuhan memang Maha Baik, rencananya kini mendamparkan saya ke ibu kota negara Indonesia, Jakarta.
Mempertemukan saya dengan banyak orang hebat yang menjadi pelajaran berharga buat saya.
Meskipun hanya merangkak, tapi sedikit demi sedikit saya merasa jauh lebih baik.
Jauh lebih hidup.
Juga jadi merindukan Makassar yang saya tinggalkan.
Jatuh cinta lagi dengan rumah saya.

Saya akan pulang, pulang ke Makassar.
Suatu hari nanti.
Ke rumah di mana saya mampu memilih siapa saja anggota keluarga saya.
Ke rumah, di mana saya selalu bisa kembali.

P.S: Semoga saya tidak pulang sendirian :p

JDwianri. Jakarta, 1 November 2014.




Jumat, 22 Agustus 2014

[Review] Our Best Time [Story by: Gong Ji Young, Art by Mizu Sahara]

Watashitachi no Shiawase na JikanWatashitachi no Shiawase na Jikan by Gong Ji-young

My rating: 5 of 5 stars


10 am on Thursday. this is the only time we can live.
-

This is my poorly written diary... To the people who feel worried about the words I write, what's in a driary is not exempt from punishment.

However, this was a chance for me to visit my mindset several months ago.

Back then, I dreaded sun's rays... Because when I was in the dark, I thought I could live unaffected by the true identity of the things that coiled.

The first time I met him was during a time like that...

The 1st Meeting: No. 3987

Around when November was coming to an end, I tested... Death

"To me, the hours that pass by each day are just an agony that I want to throw in the trash."

"No. 3987. That man... has attempted suicide countless time in prison just like you."
-

My second encounter with hime was the horrible things I heard about him.

The 2nd Meeting: Piano.

To be honest, I didn't really like the piano that much. But I played it, because it made my aunt, my cousin Hide, and my mom happy.

My mom was always yelling, and she'd only quiet down when she was listening to me play the piano.

So I played. For her sake...

"When she plays the piano, I can't hear a single bad thing, so it makes me feel better. I can't hear your... crying either."

"I am never playing the piano again!"
-

My third encounter with him occured through my misfortune...

The 3rd Meeting: The Bigot

For fourteen years, I had a secret that I couldn't tell anyone.

I don't know why I confessed all the sorrow that had collected inside my chest to him back then.

Was it because I was drunk? Because I thought he was going to die soon, anyway? Or because I knew that he was the same kind of person as me?

"I came because I didn't understand... Why someone like me, who wants to kill so badly, is running free... While someone like you, who trembles and begs for forgiveness, is locked up in here..."

"Next Thursday, at 10 AM... If I'm still alive then, please stop by. I also would like to talk... with you."
-

From my fourth encounter with him onwards, we competed to see who could talk the most.

The 4th Meeting: Sylvia.

We were only granted 30 minutes every Thursday.

Today may be the last day...

And so we continued to talk, even about trivial little things, and even if our throuats became sore...

"Today's a snow day. It's snowing. So Isn't it 'Sylvia's Day'?"
-

The 5th Meeting: Sketch Book

I decided to draw.

Because he had such a great regard for even trivial things...

I took notice of them for the first time.

Where I had thought there was only darkness, there are actually radiant, sparkling things that exist....

"You really are a lot like her. Maybe that's why she's changed. and you are the one who changed her."

"You've been sending me letters, right? I want to write back, but I don't have any talent for it. From your talks you really seemed to be attached to how things look outside. So... I wanted to atleast draw them to show you..."

"If you could, please draw my face sometime... If you draw a picture of me, maybe I'll be able to like it..."
-

The 6th Meeting: The Secret Letter

The answer that people who have witnessed a murder give about the existence of the death penalty...

The answer that people who have seen a criminal be executed give to activists who want the death penalty repealed...

If those answers were to finally satisfy our egos, and some distinguished person was to make a firm decision on it, we wouldn't be distressed about it...

"I have no complaints about being here in prison... I understand being hated all too well. I have no regrets..."
-

The 7th Meeting: Augustine.

Next Thusrday is Christmas. So my aunt and I attended Yuu's baptism.

His Christian name is Augustine.

"Lately... I've been scared of time passing... I wonder what I'd do if his sentence was carried out tomorrow. He told me himself that he has no complaints about where he stands... I'm the one who's frightened.”

"I didn't have any regrets. But for a while now... I wait for Thursday to come. I realized I'm chasing after day. That's right, today's only Monday, isn't it? It's still quite a while until Thursday."
-

The Last Meeting: The Opened Piano.

There are more things that I cared about. There were also things i didn't want to lose.

To the some extent, there were also more things that I didn't want to see, and more things that I thought would be horrible.

I knew that, in life, both sides are essential.

"The piano... If you can, I'd like to hear you play the piano one more time..."

"I'll play. And in return... Will live another year for me?"
-----------------------

I found this manga when I do some research about some angst stories, which is my favorite genre. And it's already countless time I re-read it, but it still give the same feeling as the first time.

At first, I just read this because someone said it's heart wrenching like the other one shot made by the same artist, so I tried reading this not expecting anything about the story. But first chapter.. up until the last, they were all bittersweet and heartbreaking.

The realistic taste involved had become unbearable, but professionally done as the author explores the areas of self redefinition after terribly tragic incidences have happened to the main characters. How they each overcome their own past through mutual support is perhaps what makes this story such a great read.

"Thanks to the Thursdays that I spent with you, I knew for the first time how it felt to be happy."

"It's thanks to hime that I also understand... How to obtain the thing called happiness."


I CRIED. I Couldn't hold the tears any longer. I really cried like a baby at the ending and that I cried pretty much through the whole Manga when I understood where the story was leading. Though I wouldn't say that it will make absolutely everyone cry, but for the most part, it will remain with you for some time.

Eventhough I usually prefer angst story with cruel ending rather than happily ever after story, but just this time I hope it will end up with happiness for the characters. I was at least expecting they can escape their fates.. two broken people met, and their lives and beliefs were changed. But...

I can give the story and art 10/10. Especially the story, because it was a masterpiece and a hidden jewel. I usually don't give out 10/10 ratings, but this one definitely deserves it.

I haven't read something as touching as this for a long while. It was just brilliant. Even if the romance is subtle I can feel their emotions, their pain and needs. Their love is purely platonic. And the ending.. was just tragically beautiful. Argh I love it so much.

I wish Makoto Shinkai sensei will make the movie for it :')

P.S: I don't recommend this for anyone who can't stand Tragic story and please prepare your tissue box.



View all my reviews